Selamat Datang di Blog Rumah Dhuafa

Jumat, 20 Juli 2012

Sedekah Tepat Sasaran

Dalam satu hari, kita diberi Allah kesempatan 24 jam untuk beraktifitas. Untuk sebagian orang, 24 jam merupakan waktu yang cukup untuk melakukan aktifitas sehari-harinya. Akan tetapi, bagi mereka yang berkegiatan super padat, kerap mengatakan waktu 24 jam tidaklah cukup untuk memenuhi seluruh kegiatan mereka.

Dari situlah muncul yang namanya skala prioritas. Bagaimana kita memilih dari sekian banyak kegiatan harian kita, sehingga tidak terjadi salah atur. Atau malah sampai berakibat fatal, karena kita tidak melakukan kegiatan yang nilainya teramat penting bagi kita.
Contoh yang real dalam aktivitas harian kita. Mana yang harus kita dahulukan, antara menyelesaikan pekerjaan, dan segera mengerjakan sholat ketika adzan sudah terdengar? Saya yakin, kita semua sependapat, menyambut adzanlah yang kita dahulukan.
Itulah yang dinamakan prioritas. Menempatkan antara dua, atau lebih agenda, pada kategori yang proporsional. Salah satu resep yang sering digunakan dalam menentukan skala prioritas adalah membaginya menjadi beberapa kategori,
1. Penting dan mendesak
Penting dan mendesak berarti harus dikerjakan dan tidak bisa ditunda. Jika ditunda kesempatan hilang, dan jika kesempatan hilang peluang sukses terganggu.
2. Penting dan tidak mendesak
Penting dan tidak mendesak berarti harus dikerjakan tapi boleh ditunda, karena waktunya tidak harus sekarang.
3. Tidak penting namun mendesak
Urusan ini harus dikerjakan sekarang, jika ditunda kesempatan hilang, namun tidak mengganggu tercapainya tujuan.
4. Tidak penting dan tidak mendesak
Mungkin tidak perlu dilakukan, hanya memboroskan waktu saja.
Pembagian di atas yang biasanya digunakan untuk menentukan skala prioritas. Mana yang harus lebih dahulu kita lakukan, dan mana yang tidak perlu kita lakukan.
Selain dalam kegiatan sehari-hari, penentuan skala prioritas juga bisa kita dapati dalam amal ibadah. Istilah yang digunakan para ulama’ adalah fiqh ‘Uluwiyat (Fiqh Prioritas). Dimana dengannya kita bisa menentukan amalan mana yang layaknya lebih didahulukan daripada amalan lainnya. Contoh yang paling mudah adalah, sholat Wajib harus kita lebih dahulukan daripada sholat sunnah. Jadi, ketika kita mendengar iqomah tanda sholat wajib telah didirikan, maka kita dilarang untuk melakukan sholat sunnah.
Dakwah kepada keluarga layaknya lebih didahulukan sebelum melanglang buana berdakwah hingga negeri seberang. Syahadat lebih didahulukan sebelum amal ibadah lainnya. Mempelajari permasalahan Aqidah lebih didahulukan sebelum perkara agama selainnya.
Prioritas dalam bersedekah
Setidaknya ada 2 hal yang amat mendasar kita bisa jadikan landasan dalam menentukan prioritas sedekah kita,
a. Prioritas hukum
Prioritas dalam ibadah harus disesuaikan dengan tingkatan hukumnya. Fardhu `ain harus diprioritaskan di atas fardhu kifayah, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunah, dan yang sunah harus lebih diutamakan daripada yang makruh.
Berdasarkan tingkatan hukum inilah kita harus menekankan diri agar menunaikan kewajiban terlebih dahulu sebelum melakukan amalan-amalan sunnah. Kita harus mendahulukan membayar zakat (zakat mal maupun zakat fitrah), memberi nafkah yang mencukupi untuk keluarga, dan kewajiban-kewajiban lain sebelum menunaikan amalan atau sedekah yang sifatnya sunnah.
Merupakan kesalahan sikap apabila kita rajin membagi-bagikan uang kepada para tetangga tetapi anak dan istri justru kita biarkan telantar tanpa nafkah sedikit pun. Atau, kita rajin mengeluarkan uang untuk ini dan itu tetapi zakat yang sifatnya wajib justru tidak pernah kita tunaikan.
“Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan amalan sunnah namun malas menunaikan amalan wajib.” (Ibnu Atha’illah As-Sakandary, pengarang kitab Al-Hikâm)
b. Prioritas penerima.
Untuk mengurai skala prioritas penerima sedekah, kita bisa mencermati firman Allah, di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah [2]: 177 dan Q.S. An-Nisa’ [4]: 36. Kita juga bisa mencermati hadits-hadits Nabi saw, di antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Sedekah untuk orang yang dalam kesusahan dan kekurangan. Dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
1. Istri, anak, dan orangtua yang menjadi tanggungan kita.
2. Kerabat.
3. Anak yatim dan orang-orang miskin.
4. Tetangga dan teman sejawat.
5. Orang-orang yang dalam perjalanan (musafir) dan para peminta.
Mengapa sedekah harus tepat sasaran? Jawabnya, sedekah harus tepat sasaran agar nilai kemanfaatnya lebih besar dan kefungsiannya mencangkup skala yang lebih luas. Karen nilai sedekah bukan selain dinilai dari jumlah nominalnya, dinilai juga pada sisi kemanfaatannya
Sedekah Tepat Arah
Mengapa sedekah harus tepat sasaran? Jawabnya, sedekah harus tepat sasaran agar nilai kemanfaatnya lebih besar dan kefungsiannya mencangkup skala yang lebih luas. Karen nilai sedekah bukan selain dinilai dari jumlah nominalnya, dinilai juga pada sisi kemanfaatannya.
Manakah yang lebih diprioritaskan, memberikan sedekah bagi seseorang yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sampai-sampai tidak makan 3 hari, dengan memberikan sedekah kepada seseorang yang masih mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
Oleh karena itu, masih ada satu landasan lagi yang perlu kita ketahui agar sedekah kita benar-benar bisa sampai pada sasaran yang tepat. Yaitu, prioritas kebutuhan dan kemanfaatan.
Prioritas dalam kategori ini bisa beragam wujudnya. Di antaranya sebagai berikut.
1. Orang yang dalam kondisi darurat harus didahulukan daripada yang tidak darurat.
2. Orang yang lemah harus didahulukan daripada yang kuat.
3. Orang yang shalih harus didahulukan daripada yang tidak shalih.
4. Bantuan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang lebih diutamakan daripada yang hanya dirasakan oleh satu atau beberapa orang saja.
5. Barang yang mendesak dibutuhkan harus didahulukan daripada barang yang tidak mendesak dibutuhkan.
Contoh simpelnya, kita harus lebih mendahulukan untuk menolong seorang pemulung yang nyaris mati kelaparan, meski dia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita daripada saudara kita yang miskin tapi masih mampu makan kesehariannya. Begitu pula, jika ada 2 orang yang sama-sama membutuhkan, yang seorang adalah ta’mir masjid di komplek kita, dan yang lainnya adalah preman pasar yang kerap kali meresahkan warga. Maka, sudah menjadi maklum jika kita mendahulukan sang ta’mir daripada preman pasar.
Akhirnya, mari kita bangun jiwa sosial yang berselimutkan syari’at agar seluruh kegiatan kita berbuah manis di dunia maupun di akhirat sana. Wallahu a’lam. (baitulmalfkam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar