Dalam satu hari, kita diberi Allah kesempatan 24 jam untuk
beraktifitas. Untuk sebagian orang, 24 jam merupakan waktu yang cukup
untuk melakukan aktifitas sehari-harinya. Akan tetapi, bagi mereka yang
berkegiatan super padat, kerap mengatakan waktu 24 jam tidaklah cukup
untuk memenuhi seluruh kegiatan mereka.
Dari situlah muncul yang namanya skala prioritas. Bagaimana kita
memilih dari sekian banyak kegiatan harian kita, sehingga tidak terjadi
salah atur. Atau malah sampai berakibat fatal, karena kita tidak
melakukan kegiatan yang nilainya teramat penting bagi kita.
Contoh yang real dalam aktivitas harian kita. Mana yang harus kita
dahulukan, antara menyelesaikan pekerjaan, dan segera mengerjakan sholat
ketika adzan sudah terdengar? Saya yakin, kita semua sependapat,
menyambut adzanlah yang kita dahulukan.
Itulah yang dinamakan prioritas. Menempatkan antara dua, atau lebih
agenda, pada kategori yang proporsional. Salah satu resep yang sering
digunakan dalam menentukan skala prioritas adalah membaginya menjadi
beberapa kategori,
1. Penting dan mendesak
Penting dan mendesak berarti harus dikerjakan dan tidak bisa ditunda.
Jika ditunda kesempatan hilang, dan jika kesempatan hilang peluang
sukses terganggu.
2. Penting dan tidak mendesak
Penting dan tidak mendesak berarti harus dikerjakan tapi boleh ditunda, karena waktunya tidak harus sekarang.
3. Tidak penting namun mendesak
Urusan ini harus dikerjakan sekarang, jika ditunda kesempatan hilang, namun tidak mengganggu tercapainya tujuan.
4. Tidak penting dan tidak mendesak
Mungkin tidak perlu dilakukan, hanya memboroskan waktu saja.
Pembagian di atas yang biasanya digunakan untuk menentukan skala
prioritas. Mana yang harus lebih dahulu kita lakukan, dan mana yang
tidak perlu kita lakukan.
Selain dalam kegiatan sehari-hari, penentuan skala prioritas juga
bisa kita dapati dalam amal ibadah. Istilah yang digunakan para ulama’
adalah fiqh ‘Uluwiyat (Fiqh Prioritas). Dimana dengannya kita bisa
menentukan amalan mana yang layaknya lebih didahulukan daripada amalan
lainnya. Contoh yang paling mudah adalah, sholat Wajib harus kita lebih
dahulukan daripada sholat sunnah. Jadi, ketika kita mendengar iqomah
tanda sholat wajib telah didirikan, maka kita dilarang untuk melakukan
sholat sunnah.
Dakwah kepada keluarga layaknya lebih didahulukan sebelum melanglang
buana berdakwah hingga negeri seberang. Syahadat lebih didahulukan
sebelum amal ibadah lainnya. Mempelajari permasalahan Aqidah lebih
didahulukan sebelum perkara agama selainnya.
Prioritas dalam bersedekah
Setidaknya ada 2 hal yang amat mendasar kita bisa jadikan landasan dalam menentukan prioritas sedekah kita,
a. Prioritas hukum
Prioritas dalam ibadah harus disesuaikan dengan tingkatan hukumnya.
Fardhu `ain harus diprioritaskan di atas fardhu kifayah, yang wajib
harus didahulukan daripada yang sunah, dan yang sunah harus lebih
diutamakan daripada yang makruh.
Berdasarkan tingkatan hukum inilah kita harus menekankan diri agar
menunaikan kewajiban terlebih dahulu sebelum melakukan amalan-amalan
sunnah. Kita harus mendahulukan membayar zakat (zakat mal maupun zakat
fitrah), memberi nafkah yang mencukupi untuk keluarga, dan
kewajiban-kewajiban lain sebelum menunaikan amalan atau sedekah yang
sifatnya sunnah.
Merupakan kesalahan sikap apabila kita rajin membagi-bagikan uang
kepada para tetangga tetapi anak dan istri justru kita biarkan telantar
tanpa nafkah sedikit pun. Atau, kita rajin mengeluarkan uang untuk ini
dan itu tetapi zakat yang sifatnya wajib justru tidak pernah kita
tunaikan.
“Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan
amalan sunnah namun malas menunaikan amalan wajib.” (Ibnu Atha’illah
As-Sakandary, pengarang kitab Al-Hikâm)
b. Prioritas penerima.
Untuk mengurai skala prioritas penerima sedekah, kita bisa mencermati
firman Allah, di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah [2]: 177 dan Q.S.
An-Nisa’ [4]: 36. Kita juga bisa mencermati hadits-hadits Nabi saw, di
antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw
pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Sedekah untuk orang yang dalam kesusahan dan
kekurangan. Dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu.” (H.R.
Ahmad dan Abu Dawud)
1. Istri, anak, dan orangtua yang menjadi tanggungan kita.
2. Kerabat.
3. Anak yatim dan orang-orang miskin.
4. Tetangga dan teman sejawat.
5. Orang-orang yang dalam perjalanan (musafir) dan para peminta.
Mengapa sedekah harus tepat sasaran? Jawabnya, sedekah harus tepat
sasaran agar nilai kemanfaatnya lebih besar dan kefungsiannya mencangkup
skala yang lebih luas. Karen nilai sedekah bukan selain dinilai dari
jumlah nominalnya, dinilai juga pada sisi kemanfaatannya
Sedekah Tepat Arah
Mengapa sedekah harus tepat sasaran? Jawabnya, sedekah harus tepat
sasaran agar nilai kemanfaatnya lebih besar dan kefungsiannya mencangkup
skala yang lebih luas. Karen nilai sedekah bukan selain dinilai dari
jumlah nominalnya, dinilai juga pada sisi kemanfaatannya.
Manakah yang lebih diprioritaskan, memberikan sedekah bagi seseorang
yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sampai-sampai tidak
makan 3 hari, dengan memberikan sedekah kepada seseorang yang masih
mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
Oleh karena itu, masih ada satu landasan lagi yang perlu kita ketahui
agar sedekah kita benar-benar bisa sampai pada sasaran yang tepat.
Yaitu, prioritas kebutuhan dan kemanfaatan.
Prioritas dalam kategori ini bisa beragam wujudnya. Di antaranya sebagai berikut.
1. Orang yang dalam kondisi darurat harus didahulukan daripada yang tidak darurat.
2. Orang yang lemah harus didahulukan daripada yang kuat.
3. Orang yang shalih harus didahulukan daripada yang tidak shalih.
4. Bantuan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang lebih
diutamakan daripada yang hanya dirasakan oleh satu atau beberapa orang
saja.
5. Barang yang mendesak dibutuhkan harus didahulukan daripada barang yang tidak mendesak dibutuhkan.
Contoh simpelnya, kita harus lebih mendahulukan untuk menolong
seorang pemulung yang nyaris mati kelaparan, meski dia tidak memiliki
hubungan kekerabatan dengan kita daripada saudara kita yang miskin tapi
masih mampu makan kesehariannya. Begitu pula, jika ada 2 orang yang
sama-sama membutuhkan, yang seorang adalah ta’mir masjid di komplek
kita, dan yang lainnya adalah preman pasar yang kerap kali meresahkan
warga. Maka, sudah menjadi maklum jika kita mendahulukan sang ta’mir
daripada preman pasar.
Akhirnya, mari kita bangun jiwa sosial yang berselimutkan syari’at
agar seluruh kegiatan kita berbuah manis di dunia maupun di akhirat
sana. Wallahu a’lam. (baitulmalfkam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar