Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di
beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam.
Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan
pendapat.
Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak,
sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan
bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang
tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang
awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih
banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap
dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu
mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan.
Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada
dalil yang tegas.
Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus
untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari
sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan
dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian
berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)
Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah
dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan
permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang
tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada
Allah dan hari akhir.
Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan
pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih
kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah
dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’ Abu Ahmad.
Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang”
Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan
uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat
fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat
fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status
zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana
zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?
Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya
sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak
menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang
senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan
perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun
boleh menggunakan mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana
zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran
kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini
adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban
karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah
ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.
Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang
ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan
harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa
hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang
dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau
puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir
miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh
membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia
tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga
bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh
memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena
kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?
Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang
lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat
fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah)
adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan
bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah
pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat
fitri.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak
maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang
dewasa ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci
orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan
perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh
Al-Albani)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai
zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:
Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal,
mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama
budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri
merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama
sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari
perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan
jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana
kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?
Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup
mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh
diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya.
(lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.
Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”
Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka
(Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan
zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan
makanan.”
Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama.
Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan
melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang
pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad.
Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika
membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan
perkataan mereka.
Perkataan Imam Malik
Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri
dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.”
(Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai
satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu
(tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam
bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada
tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan Imam Ahmad
Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan
mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat
mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak
diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam
Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)
Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh
memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang
berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa
Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad
marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat
dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan,
‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’
gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini
berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu
Qudamah, 2:671)
Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran
zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran
kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab
fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri
harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang,
tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak
boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan
darurat.” (Al-Majmu’)
An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata
uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik,
Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai
mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah
mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka
tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban,
ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh
menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai
(dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’
campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian
kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena
semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi
Al-Atsar, 3:860)
Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali
jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.”
(As-Sailul Jarar, 2:86)
Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan
makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr
Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak
boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya
dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat
riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan
tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri
dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)
Dalil-dalil masing-masing pihak
Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:
Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz
dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak
memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam
masalah ini.
Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih
baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa
satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan
Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, …
sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh
Syekh Al-Albani)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan,
“Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan,
satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur
kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan
satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan
kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan
kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat
fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil
menangkapnya ….”(H.r. Al-Bukhari, no. 2311)
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.
1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah
jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang
tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan,
sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab
kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat
termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang
merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau
membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya
(wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan
majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang
lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini
tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal
itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah
semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan,
pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih
layak untuk diikuti.”
Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi
manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk
bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan
kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku
wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk
pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah,
termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan
Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah
ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.
Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi
ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah
yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah
ibadah yang tertolak.
2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.
Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah
pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan
dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami
kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan,
beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.
Allah berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s.
At-Taubah:128)
Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
(sumber: www.konsultasisyariah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar